Darah dari mahluk hidup yang masih muda nampaknya mempunyai kekuatan penyembuh. Akan tetapi bagaimana kita bisa memanfaatkan sifat ini tenpa harus bergantung pada donor? Penemuan protein yang sanggup menjaga sel induk (stem cell) darah supaya tetap muda nampaknya membuka peluang ini.
Kemampuan darah muda untuk meremajakan pertama kali diamati dalam sebuah percobaan sadis yang disebut parabiosis. Parabiosis merupakan suatu bentuk eksperimen yang sudah ada semenjak 1860. Dalam percobaan ini biasanya dua ekor tikus, yang satu masih muda dan yang satu lagi sudah renta dijahit menjadi satu. Tujuannya yakni untuk menghubungkan sistem sirkulasi dari kedua tikus ini. Setelah beberapa waktu akan teramati bahwa kesehatan dari tikus yang sudah renta akan meningkat, sementara yang masih muda akan menurun. Percobaan-percobaan lain pada binatang juga memperlihatkan bahwa menyuntikkan darah yang sudah renta atau muda akan menghasilkan imbas yang serupa. Mungkin, fakta ini pulalah yang melatar belakangi lahirnya kisah-kisah drakula atau mahluk-mahluk menakutkan lain, yang dituturkan kerap menghisap darah gadis atau bayi untuk mempertahankan keabadiannya. Sebagai informasi, Novel Dracula pertama kali ditulis oleh Abraham Stoker pada tahun 1897, 30 tahun sesudah publikasi eksperimen parabiosis pertama.
Ilustrasi mekanisme parabiosis, gambar diambil dari Duyverman et.al. (2012) |
Walaupun seram, imbas serupa memang berlaku juga pada manusia. Bukti lain, ketika disuntik dengan darah insan remaja, tikus yang telah renta memperlihatkan peningkatan ingatan, kemampuan memproses informasi dan aktifitas fisik. Oleh sebab itu, darah dari dewasa dikala ini mulai diuji cobakan sebagai pengobatan untuk penyakit-penyakit penuaan contohnya Alzheimer.
Sayangnya, penelitian-penelitian semacam ini sangat bergantung dengan adanya donor darah usia remaja. Walaupun penelitian ini berhasil, akan dibutuhkan sangat banyak donor supaya mekanisme ini sanggup diterapkan secara luas. Sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan.
Untungnya, sel induk darah kita sanggup memperlihatkan solusi alternatif. Baik darah merah maupun darah putih dalam badan kita dibuat oleh sel-sel induk. Sel-sel ini sendiri juga mempunyai induk (mother stem cells) yang berasal dari sumsum tulang. Sayangnya, seiring dengan pertambahan usia, induk dari sel induk ini jumlahnya semakin berkurang. Ketika meninggal pada usia 115 tahun, darah salah satu perempuan tertua di dunia hanya mempunyai dua sel induk lagi.
Sel darah merah dan darah putih Lisensi Public Domain |
Penurunan jumlah ini menyebabkan orang renta mempunyai lebih sedikit sel darah merah dan darah putih yang disebut dengan limfosit B dan T. Penurunan jumlah sel darah ini sanggup menyebabkan anemia serta melemahkan sistem kekebaalan tubuh. Oleh sebab itu, sistem kekebalan badan pada orang-orang renta biasanya tidak bisa membendung infeksi-infeksi yang hebat.
Tetapi masih ada keinginan untuk meremajakan sel-sel induk ini. Sebuah tim di University of Ulm, Jerman, mengamati bahwa susmsum tulang tikus yang sudah renta mengandung sebuah protein yang disebut dengan osteopontin, dalam jumlah yang jauh lebih sedikit. Untuk mengetahui apakah protein ini mempunyai efek pada sel induk darah, maka tim ini menyuntikkan sel induk darah pada tikus yang mempunyai sedikit osteopontin. Sangat menakjubkan sebab sel-sel yang disuntikkan ini menua dengan sangat cepat. Sebaliknya, ketika sel induk yang memang sudah renta dicampurkan dengan osteopontin dan protein lain yang mengaktivasinya, sel-sel renta ini mulai memproduksi darah putih sebagaimana yang dilakukan oleh sel-sel induk darah yang masih muda. Hasil eksperimen ini memperlihatkan bahwa osteopontin sanggup meremajakan fungsi sel induk (Guidi et.al. 2017). Kemampuan ini mungkin sanggup dimanfaatkan untuk menciptakan sel darah yang sudah renta kembali muda.
Ini merupakan sebuah terobosan yang besar. Akan tetapi penelitian-penelitian lebih lanjut masih diharapkan untuk mengetaahui apakah pendekatan ini sanggup meremajakan sistem peredaran darah secara keseluruhan. Saat ini kebanyakan penelitian yang berupaya memanfaatkan darah sebagai zat peremajaan gres berfokus pada plasama, komponen cair dari dara. Hal ini dikarena kebanyakan peneliti beropini bahwa plasma mengandung faktor-faktor yang menjaga kemudaan (Conboy et.al., 2011).
Akan tetapi tim dari Jerman ini telah memperlihatkan bahwa baik plasma maupun sel darah sama-sama penting. Telah terbukti bahwa menyuntikkan plasma darah sanggup meremajakan binatang yang sudah tua. Akan tetapi perlakuan ini tidak seefektif ketika dua ekor binatang menyebarkan sistem sirkulasi darah bersama. Peran sel darah malah mungkin lebih signifikan sebab mereka bisa meresap ke jaringan-jaringan tubuh.
Tim dari Jerman ini sekarang tengah mengembangkan sebuah obat yang mengandung osteopontin dan protein yang mengaktifkannya. Mereka berharap obat ini sanggup mendorong sel induk renta untuk bekerja selayaknya masih muda. Dengan demikian sistem kekebalan badan pada orang renta sanggup meningkat. Obat semacam ini mungkin bermanfaat untuk melawan bisul dan anemia. Akan tetapi tim ini juga menduga bahwa suplemen osteopontin juga bisa memperbaiki kerja jantung. Osteopontin mungkin juga sanggup menjadi obat bagi kelainan-kelainan darah akhir penuaan menyerupai myelodysplasias.
Penelitian-penelitian ini telah menambahkan bukti bahwa sel-sel badan sanggup diremajakan. Walaupun demikian, sejumlah pengujian klinis masih dibutuhkan supaya temuan-temuan ini sanggup diterapkan pada manusia.
Daftar Pustaka
- Conboy, I. M., Yousef, H., & Conboy, M. J. (2011). Embryonic anti-aging niche. Aging (Albany NY), 3(5), 555-563.
- Duyverman, A. M., Kohno, M., Duda, D. G., Jain, R. K., & Fukumura, D. (2012). A transient parabiosis skin transplantation model in mice. Nature protocols, 7(4), 763-770.
- Guidi, Novella, et al. "Osteopontin attenuates aging‐associated phenotypes of hematopoietic stem cells." The EMBO Journal (2017): e201694969.
0 Response to "Sel Darah: Kunci Keremajaan Dan Melawan Penuaan"
Post a Comment